Hari ini, saya terinspirasi, tergugah dan tersadarkan oleh sebuah analisa yang ditulis oleh seorang teman di status FB nya.....dan saya pikir itu adalah sebuah ungkapan hati yang jujur saat melihat seseorang yang tiba-tiba menjadi tenar karena hal tidak biasa yang dibuatnya di depan TV.
Secara pribadi saya sebenarnya mulai kasihan melihat banyak orang mengolok-ngolok Vicky....walaupun tadinya saya pun tertawa saat melihat tayangan Youtube tentang "bahasa Vicky" yang dibuka banyak orang berkali-kali. Tetapi pada akhirnya, saya menyadari bahwa orang seperti Vicky patut juga diberikan penghargaan, apresiasi dan tepukan di pundak, karena sanggup membangkitkan tawa, memberi hiburan, sampai memaksa pemikiran yang serius bagi banyak orang. Sungguh sangat menarik.......
terima kasih banyak mas Onggo!!!
Jadi, berikut saya "copy" status FBnya mas Onggo, untuk menjadi suatu perenungan bagi kita.
=====
VICKY DAN WAJAH PASCA KOLONIAL KITA
Oleh. Onggo Ikj -- Jumat, 13 September 2013
Anda
mungkin sudah mulai lelah membaca kalimat yang telah divickynisasi.
Frase-frase yang tanpa makna akibat sesat nalar dan sesat pikir yang
dilakukan Vicky dalam berbahasa.
Fenomena berbahasa Vicky
hanya akibat dari pasca kolonial; orang-orang timur yang pernah dijajah
barat. Merasa rendah diri, dan menganggap apa yang dari "kulit putih"
adalah yang terbaik. Dengan "nginggris", Vicky mencoba memanjat status
sosial, sehingga menjadi sederajat dengan bangsa yang pernah
menjajahnya.
Vicky hanya
gambaran ekstrim dari kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya juga sering
kita lakukan, sebagai sindroma pasca kolonial. Mari lihat:
Gerai makanan cepat saji dari Amerika, Italia, Jepang, misalnya, adalah
gerai makanan yang--walau sama sekali tak bergizi dan lebih mahal
dibanding tempe di warteg--tetap menjadi favorit dikunjungi untuk makan
dan duduk berlama-lama disana. Mode mengalahkan logika.
Berapa
banyak dari kita--ketika masuk ke sebuah forum--lalu berebut duduk di
depan? Umumnya selalu mengambil kursi di belakang. Padahal, logikanya,
dengan duduk di depan kita bisa lebih fokus menerima paparan. Rasa
takut, rendah diri atau apapun namanya, telah mengalahkan logika.
Berapa banyak dari kita yang mengenal Werkudoro atau Sengkuni?
Ah...kita lebih suka membelikan anak-anak kita kostum kesebelasan sepak
bola Eropa atau kaus bergambar tokoh protagonis dan antagonis barat
ketimbang kaus bergambar tokoh-tokoh wayang atau pahlawan daerah.
Berapa banyak dari kita yang memaksa mengajarkan bahasa Inggris
ketimbang bahasa Indonesia yang baik kepada anak-anak? Kita dan
anak-anak kita lebih mengenal kata ngapload dan ngedownload ketimbang
unggah dan unduh.
Bukan kah bintang-bintang berwajah "Indo"
(entah ini istilah dari mana) lebih banyak bertebaran di
sinetron-sinetron kita? Karena ukuran ganteng dan cantik dimistar dari
wajah-wajah seperti ini; mancung, berkulit putih, bermata coklat atau
kebiruan, dengan aksen bicara yang rada nginggris.
Jadi, Vicky,
soal kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi,
statusisasi kemakmuran dan labil-labil identitas, Anda tidak sendirian.
Dalam bentuk yang lain, saya dan banyak teman saya, sama seperti Anda.
Bedanya, Anda lebih pede dan jujur atas statusisasi Anda, dan karenanya
jadi lebih populer. Itu saja. ***